Riauaktual.com - Pengamat Politik Hasanuddin menilai pasangan Calon Bupati dan Wakilnya nomor urut 3 Kasmarni dan Bagus Santoso (KBS) di Kabupaten Bengkalis, di Pilkada 2020 mendatang, tidak dalam posisi unggul.
Namun berbeda dengan penilaian Saiman Pakpahan, sesama pengamat politik dari Universitas Riau. Saiman menilai justru Kasmarni jauh lebih unggul dari calon lain karena merupakan istri Bupati nonaktif Bengkalis. Apalagi selama ini Amril Mukminin dikenal sebagai sosok pemimpin yang dermawan.
"Tentunya calon petahana maupun keluarganya, memiliki jaringan di masyarakat dari yang paling bawah sampai teratas. Juga di struktur organisasi pemerintah dan di masyatakat. Istilahnya, Kasmarni start di pemilih 30 persen suara warga Bengkalis," kata Pengamat Politik Saiman Pakpahan, Sabtu (5/12) malam.
Saiman menanggapi pemberitaan yang menyangkutpautkan dengan adanya kasus gratifikasi yang menimpa suami Kasmarni yang juga mantan Bupati Bengkalis, Amril Mukminin akan memberatkan pasangan tersebut meraih kursi Bupati-Wakil. Padahal khusus untuk dugaan gratifikasi, Amril tidak terbukti di pengadilan.
Saiman menilai, penyampaian Hasanuddin merupakan asumsi yang butuh dilakukan pendalaman.
"Karena ini baru sekedar asumsi, dan butuh pendalaman empiris," kata dosen Fisipol Universitas Riau itu.
Terkait dengan pemberitaan tanggal 4 Desember 2020, dengan judul Suami terjerat kasus Gratifikasi, pengamat politik prediksi Kasmarni sulit raih suara, menurut Saiman hal itu perlu penjelajahan akademis lebih lanjut. Karena untuk membuktikan asumsi keterhubungan antara kasus gratifikasi dan tingkat elektabilitas Kasmarni Bagus di Pilkada 9 Desember yang akan datang, tidak bisa sembarangan.
Dia menilai, Hasanudin mencoba memperlihatkan keadaan pemilih tradisional dengan memberi indikator nilai, norma dan pranata.
"Dalam konteks sosial, benar. Karena norma, pranata dan norma-norma dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia secara umum, dan diasumsikan akan berbeda ketika agenda settingnya bergeser ke arena politik, dengan struktur politik yang patronage (patron-clien).
Kita masih membutuhkan data di lapangan/empiris untuk menghasilkan hubungan kasus gratifikasi dan elektabilitas di Kabupaten Bengkalis pada Pilkada yang akan datang," kata Saiman.
Dalam suasana/typical politik pemilih yang tradisional, format politik di Indonesia yang patronase sangat dimungkinkan sosok yang telah berjasa, sosok pengayom dan sosok yang mengerti akan kebutuhan dasar masyarakat diposisikan sebagai ‘ayah’ oleh pemilih.
"Dan kondisi ketergantungan ini sangat gampang untuk diarahkan melakukan pilihan pilihan politik tertentu. Massa (pemilih) dengan kesadaran tinggi akan memutuskan pilihan kepada sosok yang telah memberikan mereka kebutuhan dasar. Ini juga barangkali yang ditemui oleh surveyor lembaga survey di lapangan, dengan menempatkan pasangan KBS pada posisi nomor satu dalam hasil survey," ucap Saiman.
Saat ini, informasi yang beredar di publik beberapa survey itu menepis asumsi Hasanuddin yang menyebutkan bahwa ada relasi antara kasus gratifikasi dan elektabilitas.
"Ternyata di sejumlah survey terlepas itu dari survey mana saja (lembaga). Tapi beberapa surve dari partai masih menempatkan Kasmarni pada posisi teratas," pungkasnya. (SAN)
